Pages

SIM PENDIDIKAN

Rabu, 26 Oktober 2011

Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Daftar Isi
Bab I. Pengantar
1.1. Siapakah Ahlus Sunnah wal Jama’ah? 

Bab II. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
2.1. Makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah 
2.2. Memahami As-Sunnah 
2.3. Menurut Al-Qur’anul Karim 
2.4. Menurut Hadits dan Salafus Shaleh
2.5.  Menurut Ulama’ Muta’akhirin

Bab III. Deskripsi Teoritis, Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian
3.1. Kaidah dan Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah 
3.2. Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah 
3.3. Ahlus Sunnah wal Jama’ah  adalah Alfirqah An-Najiyah 
3.4. Ciri Khas Ahlus Sunnah wal Jama’ah
3.5. Tokoh-tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah 
Bab IV. Metodologi Penelitian
4.1. Ahlus Sunnah wal Jama’ah  adalah Alfirqah An-Najiyah 
Bab V. Penutup
5.1. Kesimpulan 
5.2. Saran 












Bab I
Pengantar

Puji syukur hanyalah milik Allah Swt., hanya kepada-Nya kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan dan perlindungan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Saw., Shahabat, keluarga, serta kepada pengikutnya yang istiqamah menjalankan sunnahnya.
Segala puji bagi Allah Rab semesta alam yang telah menunjuki kita sekalian kepada cahaya Islam dan sekali-kali kita tidak akan mendapat petunjuk jika Allah tidak memberi kita petunjuk. Kita memohon kepada-Nya agar kita senantiasa ditetapkan di atas hidayah-Nya sampai akhir hayat, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan Islam". [Ali-Imran : 102].
Begitu pula kita memohon agar hati kita tidak dicondongkan kepada kesesatan setelah kita mendapat petunjuk.
"Artinya : Ya Allah, janganlah engkau palingkan hati-hati kami setelah engkau memberi kami hidayah". [Ali Imran : 8]
Dan semoga shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan dan kekasih kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah diutus-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan semoga ridla-Nya selalu dilimpahkan kepada para sahabatnya yang shalih dan suci, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, serta kepada para pengikutnya yang setia selama ada waktu malam dan siang.
Wa ba'du : Inilah beberapa kalimat ringkas tentang penjelasan 'Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah yang pada kenyataan hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam sehingga mereka terpecah belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai kelompok (da'wah) kontemporer dan jama'ah-jama'ah yang berbeda-beda. Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya; mengklaim bahwa diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar, sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung kepada siapakah dia belajar Islam dan kepada jama'ah mana dia harus ikut bergabung. Bahkan seorang kafir yang ingin masuk Islam-pun bingung. Islam apakah yang benar yang harus di dengar dan dibacanya; yakni ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad yang lalu ; namun justru dia hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama besar tanpa arti bagi dirinya.
Begitulah yang pernah dikatakan oleh seorang orientalis tentang Islam : "Islam itu tertutup oleh kaumnya sendiri", yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim tetapi tidak konsisten (menetapi) dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kami tidak mengatakan bahwa Islam telah hilang seluruhnya oleh karena Allah telah menjamin kelanggengan Islam ini dengan keabadian Kitab-Nya sebagaimana Dia telah berfirman.
"Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya". [Al-Hijr : 9]

Maka, Pastilah akan senantiasa ada segolongan kaum muslimin yang tetap teguh (konsisten) memegang ajarannya dan memelihara serta membelanya sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya (dari Islam), maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela ...".
[Al-Maaidah : 54]
Dan firman Allah.
"Artinya : Ingatlah kamu ini. orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan Allah. Maka diantara kamu ada yang bakhil barang siapa bakhil berarti dia bakhil pada dirinya sendiri, Allah Maha Kaya dan kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya, dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti ( kamu) dengan kaum selain kalian dan mereka tidak akan seperti kamu ini". [Muhammad : 38]
Golongan atau jama'ah yang dimaksud adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits :
"Artinya: Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta'la), sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian". [Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Imam Muslim 5 juz 13, hal. 65-67 pada syarah Imam Nawawy]
Bertolak dari sinilah kita dan siapa saja yang ingin mengenal Islam yang benar beserta pemeluknya yang setia harus mengenal golongan yang diberkahi ini dan yang mewakili Islam yang benar, Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar kita bisa mengambil contoh dari berjalan pada jalan mereka dan agar supaya orang kafir yang ingin masuk Islam itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa bergabung.

Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jamâ’ah?
Kalimat Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, terdiri dari kata Ahlun, Sunnah dan Jama’ah. Pengertian as-Sunnah dan al-Jama’ah sudah cukup jelas, yang apabila dirangkaikan dengan kata sebelumnya akan semakin lengkap pengertiannya, dimana kata ahlun mengandung makna famili atau penghuni (‘asyîrah). Disebut Ahlud Dâr artinya penghuni rumah atau disebut ahlul Makkah artinya penduduk Makkah atau penghuni kota Makkah. Dikatakan ‘penghuni’, berarti orang yang lebih tahu dan faham apa yang ada didalamnya. Demikian pula dengan ahlus sunnah, berarti orang tersebut lebih tahu dan lebih faham terhadap sunnah.
Apabila tiga kata istilah syara` digabungkan menjadi jumlah kalimat ‘Ahlus Sunnah Wal Jama’ah’, maka pengertiannya  lebih kompleks, bukan sekedar shifat, melainkan nama dan shifat sekaligus. Hal ini bertentangan dengan pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanyalah nama yang dibuat-buat dan tidaklah nama ini muncul melainkan setelah terjadinya perpecahan ummat. Padahal, hakikatnya ia merupakan nama syar’i, ma’tsûr dari salaful ummah, mulai dari shahabat dan tâbi’în generasi yang utama.
Dengan menyandarkan shifat dan karakteristik sebagai berikut: berpegang kepada tali Allah yang kokoh, menjadi suri teladan (qudwah shâlihah) dalam memberikan petunjuk kepada al-haq, memelihara ciri-ciri Islam, Sunnah dan Jama’ah, memelihara diri dan mencegah orang lain dari perbuatan bid’ah, menjadi generasi asing (ghuraba`) ditengah-tengah rusaknya manusia dan senantiasa memelihara dan menjaga hadits dan sunnah seperti halnya para Imam yang kokoh (tsiqat) dari ahlul hadits dan ahlur rijâl (orang-orang yang menyibukkan diri dengan pemeliharaan sunnah). Maka dapat disimpulkan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah: “Mereka yang berpegang teguh dan mengikuti (iltizâm dan ittibâ`) kepada sunnah nabi saw., berkumpul diatas kebenaran, tidak bercerai berai dari agamanya, bersepakat atas imam-imam yang haq dan tidak keluar dari padanya serta mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan salaful ummah”.
Dengan kegigihannya mereka kepada hadits dan atsar serta selalu mengikuti sunnah, merekapun disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, atau Ahlul Ittibâ`. Disamping itu, mereka pun disebut At-Thâifah Manshûrah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah) atau Al-Firqatun Nâjiyah (golongan yang selamat). Sudahkan kita seperti mereka?. Tentu saja, berilmu dan beramal dengan mengikuti jejak langkah mereka, jauh lebih baik dari pada sibuk menyandarkannya kepada mereka.[1]

  

Bab II
Makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Secara umum, nash al-Qur`an dan as-Sunnah telah mengisyaratkan bahwa jalan keselamatan atau jalan lurus itu hanyalah satu. Itulah satu-satunya jalan yang dapat dijadikan tempat berpijak, dimana al-Qur`an menyebutkan dengan as-Shirâth al-Mustaqîm dan hadits rasulullah saw. menyebutkannnya dengan al-Jama’ah, yaitu golongan yang selamat diantara golongan-golongan yang lain. Hal ini telah termaktub jelas dalam al-Qur`ânul Karîm (QS. Al-An’âm/ 6: 153) dan hadits rasulullah saw. tentang ummat Islam akan terpecah menjadi beberapa golongan, sedangkan yang selamat hanyalah satu golongan saja.
(HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya’la dan Ibnu Abi ‘Ashim dari Abi Amir Abdillah bin Luhayy ra.)
Disamping itu, ada beberapa ayat yang mengisyaratkan ancaman dengan adzab neraka Jahannam bagi siapa saja yang menentang rasulullah saw. dan dia lebih mengikuti jalan-jalan lain selain jalan orang-orang yang beriman.
(QS. An-Nisâ/ 4: 115 dan QS. Al-Anfâl/ 8: 13)
Demikian pula hadits yang memerintahkan wajibnya berpegang teguh terhadap sunnah rasulullah saw. dan pentingnya napak tilas perjalanan khulafaur râsyidin. (HR. At-Tirmidzhi, Ahmad dan Al-Baihaqi dari ‘Irbadh bin Sariyah ra.)
Juga hadits yang menjelaskan bahwa yang dimaksud satu-satunya golongan yang selamat itu adalah mâ anâ ‘alaihi wa ashhâbih, yaitu orang-orang yang mengikuti rasulullah saw. dan para shahabatnya. (HR. Abu Dâwud)
Dalam perkembangan berikutnya, nash al-Qur`an dan hadits tersebut itulah yang menjadi dasar sebutan bagi ‘orang-orang yang memelihara sunnah dan mengikuti shifat al-jama’ah’ disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Untuk memasuki kesimpulan penamaan tersebut, pentingnya bagi kita menelusuri terlebih dahulu keterangan-keterangan sebagai berikut:

Memahami As-Sunnah
A.      Menurut Bahasa
Secara bahasa, makna Sunnah mengandung beberapa pengertian, yaitu :
1.  Sunnah dapat diartikan perilaku atau jalan (as-sîrah wa at-tharîqah) yang mencakup perilaku baik dan buruk, seperti halnya tertuang dalam kalimat man sanna fil Islâm sunnatan hasanatan atau man sanna fil Islâm sunnatan sayyi`atan. Pengertian inilah yang dipilih Ibnu Manzhûr dalam Lisânul ‘Arab
2.  Sunnah artinya membuat gilap sesuatu atau menghiasi (sanna as-syai`a atau yasunnuhu sannan)
3.  Sunnah artinya memperkuat (taqwiyah), sepereti ucapan orang arab: alhamdh yasunnul ibila ‘alal khalati, artinya asam dapat memperkuat unta dari kekurangannya
4.  Sunnah artinya penjelasan (al-bayan). Dalam al-Qur`an disebutkan: “sunnatallâh filladzîna khalau min qabl”, artinya sunnah Allah mengenai orang-orang yang telah berlalu sebelumnya. (QS. Al-Ahzâb/ 33: 38)
Kata Sunnata dalam ayat ini mengandung pengertian sannallâhu dzâlika artinya Allah (menghendaki untuk) menjelaskannya.

B. Menurut Al-Qur`anul Karîm
1.  Mengandung makna jalan, perilaku dan pola yang ditempuh para pendahulu yaitu sunnatul haq dan sunnatul hudâ. (QS. Surah An-Nisâ/ 4: 26)
Terkadang pula sunnatullah dinisbatkan kepada orang-orang tercela dalam memberikan balasan. (QS. Al-Anfâl/ 8: 38 dan Al-Hijr/ 15: 13), dimana kalimat sunnatul awwalin mengandung pengertian kebinasaan sebagaimana penafsiran Ibnu Katsîr dan as-Syaukâni
2.  Mengandung makna kenyataan-kenyataan serta kejadian berulang-ulang yang terjadi pada ummat terdahulu (QS. Ali Imrân/ 3: 137)
3.  Mengandung makna ketentuan Allah dan keputusanNYa yang tetap dan tidak berubah (QS. Al-Ahzâb/ 33: 62, QS. AL-Fath/ 48: 23 dan QS. Al-Isrâ`/ 17: 77)
4.  Mengandung makna penshifatan terhadap sunnah dengan sebutan al-hikmah (QS. Al-Baqarah/ 2: 129, QS. An-Nisâ/ 4: 113 dan QS. Al-Jum’ah/ 62: 2)

C. Menurut Hadits dan Pemahaman Salafus Shâlih
1.  As-Sunnah adalah sesuatu yang berhadapan dengan al-Qur`an, dimana kata al-hikmah dalam beberapa ayat (QS. Al-Ahzâb/ 33: 34, QS. Al-Baqarah/ 2: 129 dan QS. Al-Jum’ah/ 62: 2) artinya as-Sunnah bukan al-Qur`an. Hal ini dikuatkan dalam hadits: “Taraktu fîkum amraini mâ in i’tashamtum bihi falan tadhillu abadan kitâballâh wa sunnata nabiyyihi shalallâhu ‘alaihi wasallam”. (HR. Al-Hâkim)
2.  As-Sunnah adalah segala sesuatu yang ada pada nabi saw. berupa ilmu, amal, petunjuk secara mutlak. Hal ini sejalan dengan bunyi hadits: “Faman raghiba ‘an sunnati falaisa minnî” (HR. al-Bukhâri, Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dari ‘Abdullah bin ‘Amr)
3.  As-Sunnah adalah apa yang disyariat’kan nabi saw. atau ditetapkannya, lawan dari bid’ah. Hal ini sejalan dengan hadits: “mâ ahdatsa qaumun bid’atan illâ rafa’a mitslaha minas sunnah” (HR. Imam Ahmad dari Ghuda’if bin al-Hârits ra.)
4.  As-Sunnah terkadang dimaksudkan sebagai amalan sunnat (nâfilah) hal ini tercermin dalam sabda nabi saw. “Innallâha azza wajalla faradha ‘alaikum syiyâma ramadhâna wa sanantu lakum qiyâmahu”. (HR. Ahmad I/ 191 dari Abu Salamah ibnu ‘Abdirrahman ra.)
5.  As-Sunnah disebut juga ittiba` (yaitu sebutan untuk keadaan para salaf dalam hal ilmu dan amal)
6.  As-Sunnah disebut juga suatu istilah untuk permasalahan ushûluddin dan i’tiqâdiyyah. Istilah ini populer dimasa Imam Ahmad, ketika maraknya sekte-sekte agama semisal Mu’tazilah, Râfidhah, Shûfiyyah, dan Ahlul Kalam. Popularitas istilah As-Sunnah sengaja dimunculkan oleh para Imam kaum muslimin untuk membedakannya dalam ahlul ahwâ (pengikut hawa nafsu). Maka lahirlah istilah Ahlus Sunnah atau Shâhibus Sunnah. Apabila disebut Madzhab Ahlus Sunnah, dimaksudkan akidah serta madzhab mereka dalam hal i’tiqâd dalam ushûluddin.


D. Menurut Kalangan Muta`akhirîn
Menurut mereka (generasi belakangan), sunnah memiliki dua pengertian:
Pertama, sunnah menurut pengertian para peneliti, lembaga pendidikan, perguruan tinggi, pustaka-pustaka dan para mahasiswa, umumnya berpandangan bahwa Sunnah adalah hadits nabi dan ulumul hadits serta segala cabang ilmu dari keduanya.
Kedua, sunnah menurut kalangan umum, berarti amalan-amalan sunnah dari perkara syar’i yang sifatnya bukan wajib, seperti: amalan yang disukai (mustahab) dan amalan yang dicintai (raghâib).

Memahami al-Jama’ah
A.  Menurut bahasa
Secara bahasa, makna dari al-Jama’ah adalah berkumpul (al-Ijtimâ’) sebagai lawan kata dari berpisah-pisah (at-Tafarruq) dan bercerai berai (al-Firqah). Dikatakan pula bermakna kumpulan (al-Jam’u), yaitu suatu kumpulan manusia dalam suatu perkara tertentu. Disebutkan pula makna al-Ijma’, yaitu kesepakatan (al-Ittifâq) dan ketepatan (al-Ihkâm). Bila dikatakan ajma’ul amr, artinya ahkamuhu (artinya: perkara yang paling tepat). Namun dikatakan ajma’a ahlul ilmi (artinya: para ahli ilmu telah bersepakat)

B.       Menurut Isthilah Syar’i
Secara isthilah, al-Jama’ah memiliki banyak pengertian. Para ulama menafsirkannya sebagai berikut:
1.  Mereka adalah para shahâbat radhiyallâhu ‘anhum, terutama Khulafâ`ur Râsyidîn. Mereka adalah orang-orang yang berkumpul diatas al-haq dan tidak pernah berkumpul dalam kesesatan. Hal ini sejalan dengan dengan ungkapan Imam al-Lalikâi Sharhul I’tiqâd ahlus Sunnah wal Jamâ’ah: “Sesungguhnya al-Jama’ah itu hanyalah yang sesuai dengan keta’atan kepada Allah walaupun sendirian”
2.  Mereka adalah ahlul ‘ilmi dan para imam pembawa petunjuk yang dapat diteladani dalam agama beserta pengikutnya, sebagaimana penjelasan Imam al-Bukhâri dan Imam at-Thabari yang dinukilkan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dalam Fathul Bâri
3.  Mereka adalah orang-orang yang berkumpul diatas al-haq dan tidak bercerai berai. Hal ini sesuai dengan sabda nabi saw.: “al-Jamâ’atu rahmatun wal firqatu ‘adzâbun”, jama’ah adalah rahmat sedangkan berpecah belah itu adzab (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dari Nu’man bin Basyîr ra.)
Demikian pula, hadits nabi saw. yang memerintahkan hidup berjama’ah dan menjauhi firqah, sesungguhnya syaithan senang terhadap orang yang sendirian, siapa saja yang menginginkan pusatnya sorga hendaklah berjama’ah (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Hakim dari Umar bin Khatab ra.)
4.  Mereka adalah kumpulan kaum muslimin yang berada dalam landasan as-Sunnah dibawah satu Imam dan bersepakan dalam masalah agama, juga urusan kemaslahatan dunia. Mereka itulah yang dimaksud dalam hadits, wajib beriltizâm kepada Jamâ’atul muslimîn dan Imamnya. (HR. al-Bukhâri dan Imam Muslim dari Hudzaifah Ibnu Yaman ra.)
5.  Mereka adalah Ahlul Halli Wal ’Aqd, yang terdiri dari para ulama, umara`, panglima, para tokoh pimpinan, para qâdhi dan tokoh-tokoh lainnya, baik berkumpul secara mayoritas atau sebagainya dalam menyepakati suatu hal dari kemaslahatan kaum muslimin seperti pengangkatan Imam dan penurunannya
6.  Mereka adalah kelompok manusia yang berkumpul untuk suatu kepentingan, baik urusan dunia ataupun agama, seperti jama’ah shalat, jama’ah menuntut ilmu ataupun jama’ah bepergian. Artinya kumpulan biasa (bukan jama’ah kubrâ)
Dengan demikian, ternyata makna al-Jama’ah dapat ditafsirkan berdasarkan konteks nash, makna zhahir atau mafhum (makna tersirat) dari salah satunya dari makna-makna yang diisyaratkan, baik sebagian ataupun keseluruhan.
Oleh karenanya Imam As-Syâthibi menyimpulkan dalam kitabnya Al-I’tishâm bahwa yang dimaksud al-Jamâ’ah mengandung pengertian sebagai berikut: mayoritas ummat terbaik pada abad-abad pertama (as-Sawadul A’zham), para Imam mujtahidin, khusus para shahabat, jama’ahnya ahlul Islam apabila berijma’ dan jama’ah kaum muslimin dibawah satu amir yang telah disepakati dan dipilih oleh mereka.



Bab III
Deskripsi Teoritis, Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian

2.1. Kaidah dan Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah  
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki beberapa prinsip dalam menggunakan dan mengambil dalil (istidlal), yaitu sebagai berikut:
1. Sumber aqidah adalah kitab Allah (Al Qur'an), sunnah Rasulullah yang shahih dan ijma' para salaf yang shaleh.
2. Setiap sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah wajib diterima, sekalipun mutawatir atau ahad (hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya bukan dalam jumlah yang tak terhitung).
3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Kitab dan Sunnah adalah nash-nash (teks Al Qur'an atau hadits) yang menjelaskannya, pemahaman para salaf yang shaleh dan para imam yang mengikuti mereka serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang hanya berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.
4. Prinsip-prinsip utama dalam agama (ushuluddin) semua telah dijelaskan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Siapapun tidak berhak mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut termasuk bagian dari agama.

5. Berserah diri dan patuh hanya kepada Allah dan RasulNya lahir dan batin. Tidak menolak sesuatu dari Kitab atau Sunnah yang shahih, baik dengan analogi, perasaan, kasyf (illuminasi, atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syeikh ataupun iman-imam, dan lain-lainnya.
6. Dalil aqli yang benar akan sesuai dengan dalil naqli (nash) yang shahih. Sesuatu yang qath''i (pasti) dari kedua dalil itu tidak akan bertentangan. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara kedua dalil itu, maka wajib dalil naqli harus didahulukan.
7. Wajib untuk senantiasa menggunakan bahasa agama dalam aqidah dan menjauhi bahasa bid'ah (yang bertentangan dengan sunnah). Bahasa umum yang mengandung pengertian yang salah dan yang benar perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai pengertian yang dimaksud. Apabila yang dimaksud adalah pengertian yang benar maka perlu disebutkan dengan menggunakan bahasa agama (syar'i). Tetapi bila yang dimaksud adalah pengertian yang salah maka harus ditolak.
8. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam adalah ma'shum (dipelihara Allah dari kesalahan), dan umat Islam secara keseluruhan dijauhkan dari Allah dari kesepakatan atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang pun dari kita yang ma'shum. Jika ada perbedaan pendapat di antara para imam atau yang selain mereka maka perkara tersebut dikembalikan kepada Kitab dan Sunnah, dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa dia adalah orang berijtihad.
9. Ada di antara umat kita yang memperoleh bisikan dan ilham dari Allah, ru'ya (mimpi) yang baik. Ini benar dan termasuk salah satu bagian dari kenabian. Firasat yang baik adalah benar, dan itu semua adalah karamah (suatu kelebihan dan keluarbiasaan yang dikaruniakan Allah kepada seorang wali) [1] serta tanda baik dari Allah asal dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menjadi sumber aqidah maupun hukum.
10. Berdebat untuk menimbulkan keraguan dalam agama adalah perbuatan tercela. Tetapi berdebat dengan cara yang baik untuk mencari kebenaran disyariatkan. Perkara yang dilarang oleh nash untuk mendalaminya wajib diterima dan wajib menahan diri untuk mendalami sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh seorang muslim. Seorang muslim harus menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Yang Maha Mengetahui, yakni Allah subhanahu wa ta'ala.
11. Kaum muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) Al-Qur'an dan Sunnah dalam menyampaikan sanggahan, dalam aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Karena itu bid'ah tidak boleh dibalas dengan bid'ah lagi, kekurangan dilawan dengan berlebih-lebihan, atau sebaliknya.
12. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya dalam agama adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan dalam neraka.
                            

Prinsip Kedua Ahlusunnah Wal Jamaah
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah: bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kema'shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran.
Allah berfirman, yang artinya:"Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu". (An-Naml : 14)
ALLAH berfirman, yang artinya :"....... karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzolim itu menentang ayat-ayat Allah". (Al-An'aam : 33)
Firman ALLAH, yang artinya: "Dan kaum 'Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam"
(Al-Ankabut : 38)
Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji'ah; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya, yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya ..." (Al-Anfaal : 2-4).
Firman ALLAH yang artinya: "Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian" (Al-Baqarah : 143).

Prinsip Ketiga
Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna.
Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya :"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya ..." (An-Nisaa : 48).
Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma'shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan ta'at dengan adanya kekafiran.
Prinsip Keempat
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah wajibnya ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma'shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ..." (An-Nisaa : 59)
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya: "Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba".(Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits 'Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa ma'shiyat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya, yang artinya: "Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku". (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).

Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama'ah-pun memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.

Prinsip Kelima
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu'tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar.
Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu'tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.

Prinsip Keenam
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu 'anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.
Firman ALLAH yang artinya: "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (Al-Hasyr : 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,yang artinya: "Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya". (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).
Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid'ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in.

Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.

Prinsip Ketujuh
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya, yang artinya : "Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku". ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.
Firman ALLAH yang artinya :"Wahai wanita-wanita nabi ........".(Al-Ahzab : 32)
Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman yang artinya: "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya". ( Al-Ahzab : 33)
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman yang artinya: " Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia". (Al-Lahab : 1).
Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfa'at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah". (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman yang artinya: "Katakanlah (hai Muhammad): Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian". (Al-Jin : 21).
Firman ALLAH yang artinya: "Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemadlaratan". (Al-A'raf : 188)
Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.

Prinsip Kedelapan
Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu'tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.
Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta'atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma'shiyat.

Prinsip Kesembilan
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya, yang artinya: "Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk". (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman, yang artinya: "Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul 'ilmi.
Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain ; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian yang lain betapapun adanya perbedaan masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.

2.2. Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Aqidah menurut bahasa berasal dari kata 'aqd, yang berarti penguatan, pemantapan, dan pengikatan dengan kuat. Sedangkan menurut istilah, yakni keimanan yang teguh, yang tidak dihinggapi suatu keraguan apapun bagi pemiliknya.
Dengan demikian, aqidah Islamiyah berarti keimanan yang teguh kepada Allah ta'ala berupa tauhid dan ketaatan; kepada malaikat, kitab-kitabNya, para rasul, hari akhir, takdir dan semua perkara ghaib, serta berita-berita lain dan hal-hal yang pasti, baik berupa ilmu pengetahuan maupun dalam amal perbuatan.
Salaf adalah generasi pertama dari umat kita (Islam). Yang termasuk kaum salaf, yaitu para sahabat radhiyallahu 'anhum, tabi'in, dan para imam kebenaran. Mereka adalah tiga generasi yang mendapat kemuliaan. Karena itu, siapa yang mengikuti jejak mereka pada masa-masa sesudahnya disebut salafy.
Adapun yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya .

Orang-orang yang mengamalkan segala ajaran Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam disebut ahlus sunnah karena mereka berpegang teguh dan mengikuti sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Mereka juga disebut Al Jama'ah karena mereka bersatu di atas al haq (kebenaran). Mereka tidak berselisih dalam agama. Mereka berkumpul pada para imam al haq dan mereka juga mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf.
Karena mereka mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan jejak para salaf (atsar) maka mereka disebut juga sebagai ahlul hadits, ahlul atsar, dan ahlul ittiba' (orang yang mengikuti sunnah). Mereka juga disebut Ath Tha'ifah Al Manshurah (kelompok yang ditolong oleh Allah) dan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).

2.3. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Al-Firqah al-Nâjiyah
Telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa al-Firqah al-Nâjiyah merupakan nama lain dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Jamâ’ah al-Muslimin, Thaifah Manshûrah, al-Ghuraba’, dan Ahl al-Hadîts atau Ahl al-Atsar. Semuanya merupakan kesatuan makna dan tidak terpisah-pisah. Adapun nama-nama yang disebutkan itu menunjukkan karakteristiknya yang beragam.
Pembahasan ini dimunculkan dan dijelaskan lebih terperinci sehubungan makna Al-Firqah  secara umum menunjukkan sesuatu yang negatif. Ketika kata Al-Firqah disifati dengan kata Al-Nâjiyah, maka maknanya lebih memiliki pengertian khusus, yaitu ‘kelompok yang selamat’ diantara kelompok-kelompok lain yang binasa sebagaimana diisyaratkan hadits-hadits tentang terpecahnya ummat Muhammad saw. menjadi 73 golongan.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, sifat-sifat Al-Firqah al-Nâjiyah yang merupakan Thâifah al-Manshûrah adalah kelompok yang bermacam-macam dari kalangan orang-orang mukmin. Mereka adalah para pemberani dan ahli perang, ahli fiqih, ahli hadits dan ahli tafsir, mereka yang menegakkan al-Amru bi al-Ma’ruf dan Nahyu al-Munkar, ahli zuhud dan ahli ibadah. Mereka tidak hanya berkumpul dalam satu negara, bisa saja berkumpul dalam satu negara atau terpencar ke seluruh penjuru dunia.[2]
Selain itu, al-Firqah al-Nâjiyah atau al-Thâifah al-Manshûrah (yang merupakan gelar bagi Jamâah Muslimin) adalah kelompok yang senantiasa menampakkan kebenaran (al-Thâifah al-Zhâhirah), mereka para penegak al-haq, baik secara ilmu, da’wah, jihad dan selalu sabar atas ujian yang menimpa.
Rasulullah saw. bersabda:
“Senantiasa terdapat kelompok dari ummatku yang mengibarkan (menampakkan) kebenaran, tidak merugikan mereka orang-orang yang menghinakannya sampai datang keputusan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (H.R Muslim dari Tsauban ra.)
Dengan berbagai atribut yang dinisbatkannya (baik al-Firqah al-Nâjiyah maupun yang lainnya) menjadi pembeda dari firqah-firqah lainnya (baik ahl al-Ahwâ, ahl al-Bida’, atau ahl al-Syubuhât)
Adanya perbedaan nama-nama tersebut, menurut Abdul Hamid  Hindawi dalam Dirâsât Haula al-Jamâ’at wa al-Jamâ’ât, menunjukkan kekhususan atas nama kelompok kaum muslimin yang lebih dominan (sebagai contoh, dikatakan ahl al-hadîts atau ahl al-atsar dikarenakan kelompok ini lebih menyibukkan diri dengan perkara-perkara hadits dan atsar). Pada dasarnya, mereka semua masuk dalam satu nama yang disebut Jamâ’ah al-Muslimîn. (Hindawai, 1994: 65)
Maka sepanjang penelaahan para ulama, diantaranya Muhammad Jamil Zainu (dalam kitabnya Al-Firqah al-Nâjiyah) menyimpulkan bahwa al-firqah al-nâjiyah memiliki kriteria umum sebagai berikut:
1.    Mereka adalah golongan yang mengikuti jalan rasulullah pada masa hidupnya dan jalan para shahabat sesudahnya
2.    Mereka adalah golongan yang mengembalikan semua permasalahan kepada Allah dan rasulNya, apabila terjadi perselisihan pendapat
3.    Mereka adalah golongan yang tidak mendahulukan pendapatnya atas kitab Allah dan Sunnah rasulNya
4.    Mereka adalah golongan yang memelihara kemurnian tauhid
5.    Mereka adalah golongan yang memelihara dan menyemarakkan sunnah-sunnah rasulullah dalam segala aspek peribadatan dan dalam menempuh jalan hidup dan kehidupan
6.    Mereka adalah golongan yang tidak fanatik kecuali kepada kitab Allah dan hadits-hadits rasulullâh saw.
7.    Mereka adalah para ahli hadits
8.    Mereka adalah golongan yang memuliakan para mujtahidin dan menghormati mereka
9.    Mereka adalah golongan yang selalu menyeru kepada kebaikan dan melarang segala bentuk kemungkaran
10.  Mereka adalah golongan yang mengajak seluruh kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada sunnah rasulullah dan para shahabatnya dengan sebenar-benarnya sehingga mendapatkan pertolongan Allah
11.  Mereka adalah golongan yang mengingkari peraturan perundang-undangan yang dibuat manusia
12.  Mereka adalah golongan yang mengajak seluruh kaum muslimin untuk berjihad di jalan Allah sesuai dengan kemampuannya. (Jamil Zainu, 1990: 17-22)
Maka secara ringkas dapat dikatakan bahwa Al-Firqah al-Nâjiyah adalah golongan yang mengikuti rasulullah saw. dan mengikuti jejak langkah para shahabatnya, baik dalam masalah aqidah, ibadah dan mua’malah. Termasuk didalamnya masalah undang-undang kemasyarakatan dan siyasah.


2.4. Ciri Khas Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyepakati prinsip-prinsip penting (Al-Ushul) yang kemudian menjadi cirri dan inti aqidah mereka, yaitu:
1.    ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang sifat-sifat Allah: Itsbat bila takyif 9menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menanyakan bagaimananya) dan mensucikan sifat-sifat-Nya tanpa mengingkarinya.
2.    Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk
3.    Bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di Surga dengan kedua mata mereka
4.    Meyakini bahwa Allah tidak dapat dilihat di dunia ini
5.    Mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah SAW.
6.    Mengimani qadha dan qadar Allah
7.    Iman adalah ucapan dan perbuatan, dan dapat bertambah dan berkurang

2.5. Tokoh-tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Tokoh-tokoh Ahlus Sunnah adalah para Shahabat yaitu yang beriman terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw., pernah melihat beliau, mati dalam keadaan Islam, para tabi’in, atbaa’uttaabi’in, dan juga orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka serta mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Di antara tokoh Shahabat adalah: para khulafaaur Rasyidin, sepuluh orang yang dijamin masuk surge, Ahlul Badr, Ahlul Uhud, dan Ahlu Bai’atur Ridwan. Di antara para shahabat yang masyhur yaitu:
 Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin ABi Waqash, Sa’id bin Zaid, Abdurrahman bin ‘Auf, Abdullah bin Mas’ud, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abdullah bin Amru bin Ash, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’, ‘Ubadah bin Shamit, Abu Musa al-Asy’ari, Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Khuzaifah ibnu Yaman, Uqbah bin Amir, Aisyah, Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Kemudian orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka. Selanjutnya dari generasi-generasi yang menyusul mereka seperti: Ibnu Jarir Ath-Thabary, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qutaibah, Al-Khatib Al-Bangdadi, Ibnu Abdul Bar, Abdul Ghany Al-Maqdisy, Ibnu As-Shalah, Ibnu Taimiyah, Al-Mizzy, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim Al-jauziyah dan Ibnu Rajab Al-Hambali.
Kemudian orang yang menyusul mereka dan mengikuti jejak langkah mereka dalam berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman para Shahabat sampai datangnya hari kiamat





Bab IV
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Al-Firqah An-Najiyah

Bab IV. Implementasi dan Analisis Data
Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka tibalah giliran bagi kita untuk mengetahui pula nama-nama beserta ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Sebenarnyalah kelompok ini memiliki nama-nama agung yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain. Dan diantara nama-namanya adalah: Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat); Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang artinya adalah sebagai berikut:
[1] Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana telah dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyebutkan kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya : "Seluruhnya di atas neraka kecuali satu; yakni yang tidak masuk kedalam neraka".(Telah terdahulu keterangannya)
[2] Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana di sabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini".
(Telah terdahulu keterangannya)
[3] Bahwasanya pemeluk kelompok ini adalah mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting ; pertama. berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemeluk sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain karena mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan perkataan para pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid'ah-bid'ah dan kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji'ah ; atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ; atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij. Adapun perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul Jama'ah karena kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang mampu menyatukan mereka.
[4] Bahwasanya kelompok ini adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya mereka dalam menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti difirmankan Allah : "Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka". [Muhammad : 7] . Oleh karena itu pula Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta'ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian". (Telah terdahulu keterangannya).[3]




Bab V
Penutup
5.1. Kesimpulan
            Dengan adanya prinsip-prinsip yang dikemukakan dimuka, mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.
Diantara sifat-sifat yang agung itu adalah:

Pertama, Mereka beramar ma'ruf dan nahi mungkar seperti yang telah diwajibkan syari'at dalam firman Allah berikut:
"Artinya : Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma'ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah". (Ali-Imran : 110).
Firman ALLAH yang artinya: "Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman". (Dikeluarkan oleh Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy dari Abu Sa'id Al-Khudry).
Sekali lagi, amar ma'ruf nahi munkar hanya terhadap apa-apa yang diwajibkan oleh syari'at. Sedangkan golongan Muta'zilah mengeluarkan amar ma'ruf dan nahi munkar dari apa-apa yang diwajibkan oleh syara, sehingga mereka berpandangan bahwa amar ma'ruf nahi munkar adalah keluar dari para pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan ma'shiyat walaupun belum termasuk perbuatan kufur.
Sedang Ahlus Sunnah Wal Jama'ah memandang wajib menasehati mereka dalam hal kema'shiyatannya tanpa harus memberontak kepada mereka. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : Barangkali hampir tidak dikenal suatu kelompok keluar memberontak terhadap pemilik kekuasaan kecuali lebih banyaknya kerusakan yang terjadi ketimbang terhapusnya kemungkaran (melalui cara pemberontakan tersebut).

Kedua, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menjaga tetap tegaknya syi'ar Islam baik dengan menegakkan shalat Jum'at dan shalat berjama'ah sebagai pembeda terhadap kalangan ahlul bid'ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum'at maupun shalat Jama'ah.

Ketiga, Menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Ad-Din itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya".(Dikeluarkan oleh Muslim I/Juz 2 hal. 36-37 syarah Nawawy, Abu Daud 5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102 dari Tamiim Ad-Dary).
Sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam yang artinya: "Mu'min yang satu bagi mu'min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan".
(Dikeluarkan oleh Bukhary 4/6026 dan Muslim 6/Juz 16 hal. 139 syarah Nawawy).

Keempat, Mereka tegar dalam menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni'matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.

Kelima, Bahwasanya mereka selalu berahlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzalim (aniaya) sesuai dengan firman Allah, yang artinya: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (An-Nisaa : 36)
Firman ALLAH yang artinya: "Sesempurna-sempurna iman seorang mu'min adalah yang baik ahlaknya". (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud 5/4682, dan Al-Haitsamy dalam Mawarid No. 1311, 1926).
Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.

5.2. Saran
Islam adalah agama yang sempurna, semua syari'at Allah telah disampaikan oleh Rasulullah saw secara keseluruhan tanpa terkecuali. Kajilah lebih jauh niscaya akan kita dapati bahwa beliau benar-benar orang yang amanah, tidak ada satupun yang dari aspek-aspek kehidupan yang terlupakan, semuanya telah jelas dan gamblang serta bisa dirujuk pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah bahkan hingga  saat ini! Kalau memang demikian, maka seharusnya umat ini berada di atas jalan yang sama dan pemahaman yang sama dalam memahami kedua sumber otentik tersebut. Ironisnya hingga detik ini masih aja ada jama'ah-jama'ah yang menyimpang dari kebenaran Islam yang sesungguhnya. Sekalipun mereka mengklaim berpijak di atas Al Quran dan Sunnah, toh kenyataannya persatuan dan tujuan yang diidam-idamkan sulit untuk mewujudkannya. Mengapa ..? Karena mereka memahami Kitab dan Sunnah dengan penafsiran sendiri, tentu saja hal tidak ada titik temunya. Lalu bagaimanakah jalan keluarnya ?
Rasulullah telah memberi solusi yang jitu yaitu komitmen kepada jama'ah dengan memegang teguh Al Quran dan Sunnah sesuai dengan metode salafus sholeh. Inilah yang sering dilalaikan oleh kebanyakan jama'ah yaitu pemahaman salafus sholeh baik dalam berakidah, beramal, bertahkim, tarbiyah dan mensucikan jiwa, karena merekalah generasi terbaik umat ini.


Daftar Pustaka
Al-‘Aql, Nashir bin ‘Abdul Karim, 1411 H., Mafhumu Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah ‘Inda Ahlis Sunnah wa Al-Jama’ah, Riyadh: Darul Wathan Linnasyr
Al-‘Aql, Nashir bin ‘Abdul Karim, 1411 H., Mujmal Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah fi Al-‘Aqidah, Riyadh: Darul Wathan Linnasyr
Al-Khumais, Muhammad bin Abdurrahman, 1427 H., Aqidah Imam Empat; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad, Riyadh: Direktorat Bidang Penerbitan dan Riset Ilmiah Departemen Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam Saudi Arabia
Al-Hamd, Muhammad Ibrahim, 1416 H., ‘Aqidah Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah; Mafhumuha-Khashaishuha-Khashaishu Ahliha, Riyadh: Darul Wathan
Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Aly, 2003, Dirasatul Firaq; Kajian tentang Aliran-aliran Sesat dalam Islam, Surakarta: Pustaka Arafah





[1] Nâshir bin Abdil Karm al-Aql, Mafhûm Ahlis Sunnah Wal Jamâ’ah ‘Inda Ahlis Sunnah Wal Jama’ah

[2] Fath al-Bâri 13/ 361
[3] Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah oleh Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah
  Al-Fauzan, Dar Al-Gasem Riyadh, penerjemah Abu Asia