Pages

SIM PENDIDIKAN

Selasa, 31 Januari 2012

4 Pilar Pendidikan Menurut Unesco

Salah satu indikator kualitas kesejahteraan suatu bangsa, ditentukan oleh pendidikan, karenanya arah kebijakan pendidikan suatu bangsa menunjukan arah kesejahteraan yang ingin dicapai bangsa tersebut. Untuk itu UNESCO memberi koridor pendidikan dalam 4 pilar yakni : learning to know, learning to do, learning  to be, dan learning to live together. Dalam perjalanan selanjutnya, pilar ke empat ditambahkan menjadi lerarning to live together in peace an harmony. Berikut ini penjelasan tentang ke-4 pilar pendidikan tersebut :
1.       Lerning to know
Artinya siswa memiliki pemahaman dan penalaran yang bermakna terhadap produk dan proses pendidikan (apa,bagaimana, dan
mengapa) yang memadai. Dalam pembelajaran misalnya, siswa diharapkan memahami secara bermakna fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, model, idea , dan hubungan antar idea tersebut; dan alasan yang mendasarinya, serta menggunakan idea itu untuk menjelaskan dan memprediksi proses-proses berikutnya.
2.       Lerning to do
Artinya siswa memiliki keterampilan dan dapat melaksanakan proses pembelajaran yang memadai untuk memacu peningkatan  perkembangan intelektualnya. Beberapa hal yang mendukung penerapan “learning to do” dalam pembelajaran adalah :  (1) Pembelajaran berorientasi pada pendekatan konstruktivisme. (2) Belajar merupakan proses yang aktif, dinamik, dan generatif
3.       Lerning to be
Artinya siswa dapat menghargai atau mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses pendidikan , yang ditunjukkan dengan sikap senang belajar, bekerja keras, ulet, sabar, disiplin, jujur, serta mempunyai motif berprestasi yang tinggi dan rasa percaya diri. Aspek-aspek di atas mendukung usaha siswa meningkatkan kecerdasan dan mengembangkan keterampilan intelektual dirinya secara berkelanjutan.
4.       Lerning to live together in peace and harmony
Artinya siswa dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dalam proses pendidikan , melalui bekerja atau belajar bersama atau dalam kelas, saling menghargai pendapat orang lain, menerima pendapat yang berbeda, belajar mengemukakan pendapat dan atau bersedia “sharing ideas” dengan orang lain dalam kegiatan pembelajaran atau bidang lainnya.

Upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yaitu: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together.
Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.

Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terrealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata

Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi seseorang). Hali ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.

Terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama

Untuk itu semua, pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia. SEMOGA..!!!

FILSAFAT ISLAM




FILSAFAT  ISLAM
Dibuat sebagai bahan presentasi pada mata kuliah Filsafat Sains dan Teknologi
Dosen Pembimbing: Dr. H. Abdul Nurhamid Sayuti, M.Sc.


                                            
Disusun oleh:
Musliadi  (NIM: 1008036268)
Dede Hidayat   (NIM: 1008036176)
                                                                                 



PROGRAM PASCASARJANA
MEGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
 JAKARTA
2011




Daftar Isi …………………………………………………………………………………….…… 1
Pengantar …………………………………………………………………………………………             2
Filsafat Islam ………………………………………………………………………………...…….             2
Apa manfaat belajar filsafat? …………………………………………………….…….…….…… 2
Apakah Filsafat selalu bertentangan dengan Al-Qur’an? ……………..………………………….. 3
Mengapa identitas Filsafat Islam nyaris tergerus oleh Fisafat Liberal? …………………..…….      3
Apa solusinya? ……………………………………………………………………………….…… 3

Bab I. Pendahuluan
1.1.    Latar Belakang ...................................................................................................             4
1.2.   Adakah yang disebut Filsafat Islam? ……………………………………….………...…  4
1.3.   Lingkup Filsafat Islam ……………………………………………………………….….   5
1.4.   Pandangan Filsafat yang Holistik ………………………………………………….……. 5
1.5.   Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern …………………………………...…………. 5
1.6.    Filsafat sebagai Pendukung Agama ………………………….……………..……….....   6
1.7.   Filsafat Islam di Indonesia ……………………………………………………….………     7
1.8.   Rumusan Masalah ……………………………………………………………………..… 9
1.9.   Tujuan ……………………………………………………………………………...……. 9
Bab II. Filosof Islam dan Filsafatnya
1.1.   Al-Kindi  …………………………………………………………………………..…….. 10
1.2.   Al-Farabi …………………………………………………………………………..…….. 10
1.3.   Ibnu Sina …………………………………………………………………………..…….. 11
1.4.   Al-Ghazali ………………………………………………………………………...…….. 12
1.5.   Ibnu Bajah ……………………………………………………………………………….. 14
1.6.   Ibnu Thufail ………………………………………………………………………….….. 16
1.7.   Ibnu Rusyd ………………………………………………………………………...…….. 16
Bab III. Analisa
3.1. Ada Apa dengan Filsafat? ……………………………………………………………….. 18
3.2. Hubungannya dengan Agama …………………………………………………….……    18
3.3. Bagaimana dengan Filsafat Islam ………………………………………………..……… 19

Bab IV. Penutup
5.1. Kesimpulan …………………………………………………………………………..….  21
5.2. Saran …………………………………………………………………………………..… 22

Dartar Pustaka ……………………………………………………………………………...…… 23


Pengantar
Filsafat Islam
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.
Jika kita tela’ah secara seksama, bagaimana cepatnya perkembangan cara berpikir sesudah Islam dalam segala bidang, maka secara garis besar dapat kita bagi aliran-aliran itu dalam tiga bagian;
            1. Aliran-aliran i’tiqad (keyakinan)
2. Aliran-aliran hukum (fiqih)
3. Aliran-aliran politik (As-Siyasah).[1]
Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya apa pentingnya kita mempelajari filsafat. Selain rumit, ada fakta bahwa sejumlah muslim yang belajar filsafat malah jadi anti-tuhan dan anti-agama.

Apa manfaat belajar filsafat?
Banyak. Antara lain untuk mengasah daya kritis dan analitis. Sehingga mampu keluar dari fanatik buta. Misalnya ada yang ngomong politik itu kotor. Dengan belajar filsafat, kita tidak akan terima begitu saja. Kita akan teliti secara jernih dan mendalam. Tentu saja ditopang disiplin ilmu terkait seutuhnya.
Orang belajar filsafat akan terus mengejar dengan pertanyaan mengapa. Ia ingin tahu tidak hanya apa dan bagaimana tetapi mengapa suatu perkara atau fenomena itu muncul. Jadi, orang yang memahami filsafat tidak mudah termakan rayuan iklan (tergelak).
Bagi seorang Muslim, belajar filsafat itu punya dua fungsi:
Pertama, membenarkan yang benar (ihqaq al-haqq).
Kedua, membatalkan yang batil (ibthal al-bathil). Dan kebenaran yang dimaksud itu terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Belajar Filsafat Islam itu seperti Nabi Ibrahim yang ingin tahu bagaimana Allah menghidupkan orang mati. Allah balik bertanya, “Apakah engkau belum percaya?” Nabi Ibrahim menjawab, “Aku percaya, akan tetapi [aku bertanya] supaya hatiku tentram (mantap).” Jadi, Filsafat itu untuk mengokohkan kebenaran sekaligus menghapus keraguan.
Namun sayang, kini banyak yang keliru mengatakan bahwa kebenaran itu tidak bisa ditemukan, dan hanya bisa dicari atau didekati. Ini jelas perspektif sekuler-liberal yang alergi pada agama. Filsafat sekuler dan liberal itu lahir dari ketegangan antara nilai-nilai agama Kristen dengan nalar. Pada abad ke-16 Masehi, di Eropa terjadi konflik antara pemuka agama Kristen dengan para ilmuwan. Para saintis kala itu menilai doktrin agama Kristen sangat tidak rasional dan sulit dicerna oleh akal sehat.
Pertentangan paling masyhur adalah tentang heliosentris. Dalam Bible, bumi dianggap pusat tata surya (geosentris). Yang menyangkal akan dihukum oleh tokoh-tokoh gereja yang waktu itu memang sangat berkuasa. Tak ayal, beberapa ilmuwan semisal Galileo merasakan hukuman itu.

Lantas, apakah Filsafat selalu bertentangan dengan Al-Qur’an?
Tidak ada catatan sejarah bahwa Filsafat Islam itu mempertentangkan wahyu dengan akal. Semua yang tersurat dalam Al-Qur’an sangat rasional. Banyak ayat-ayat Kitabullah yang paralel dengan penemuan ilmiah.
Allah Swt. secara eksplisit menyuruh manusia berpikir. Banyak ayat yang bernada tantangan menyelidiki dan merenungi fenomena alam. Misalnya ayat afala ta’qilun ‘Tidakkah kalian berakal (menggunakan akal)?’; afala tatafakkarun; ‘Tidakkah kalian mau berpikir?’
Jadi, pertentangan wahyu dan rasio manusia bukanlah masalah utama dalam filsafat Islam. Ini diakui oleh Oliver Leaman, profesor Filsafat dari University of Kentucky (dalam History of Islamic Philosophy, Routledge, 1996, London).
Pertentangan ini merupakan ‘impor’ dari filsafat Kristen. Tak heran jika Tertullian, seorang Bishop (uskup) asal Afrika pernah menyatakan, “Aku percaya justru karena (dogma Kristen) itu tidak masuk diakal (credo quia absurdum)”. Artinya, memang sukar bagi orang Kristen untuk merasionalkan keimanannya. Mereka terpaksa terima saja karena akidahnya sulit dinalar.”
Islam tidaklah demikian. Pikirkan dengan akal sehat secara mendalam, maka kita akan menemukan kebenaran dalam Islam. Kalau ada yang tersesat, mungkin itu ada yang salah dalam niat atau juga proses belajarnya.

Mengapa identitas Filsafat Islam nyaris tergerus oleh Fisafat Liberal?
Semua itu terjadi paska penjajahan negeri-negeri Islam oleh bangsa-bangsa Eropa yang notabene non-Muslim. Lantas bergulirlah proses de-islamisasi dan sekularisasi pendidikan. Semua kurikulum pendidikan di negeri Islam dijauhkan dari unsur agama. Maka, terjadilah pengenyahan agama. Belajar apapun tidak ada kaitannya dengan agama.

Apa solusinya?
Perlu metodologi pembelajaran filsafat Islam secara utuh dan tuntas. Kita harus menggali turats (kitab rujukan asli) dari pemikiran para filsuf Islam yang berlimpah jumlahnya. Sebutlah karya-karya agung Ibnu Sina, Al Farabi, Imam Al-Ghazali, Fakhruddin Ar-Razi, dan lain-lain.
Dan untuk itu kita harus punya tradisi ilmu yang kuat. Sumber pustakanya juga harus dari kitab-kitab Islam yang orisinil, bukan saduran atau ringkasan saja. Kalau cuma saduran, mana bisa utuh pemahamannya? Memang, tidak setiap muslim harus belajar Filsafat. Tapi harus ada yang menekuni sebagai fardhu kifayah.
Tapi, sekali lagi, mesti berangkat dari sumber aslinya. Baru kita bisa merumuskan nilai-nilai Filsafat Islam yang komprehensif. Dengan demikian insya Allah kita tidak akan tergerus oleh filsafat Barat yang menggerogoti nilai-nilai esensial Islam.



BAB I
PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM


1.1. Latar Belakang
1.2.1. Adakah yang disebut Filsafat Islam?
Dalam buku Mulyadhi Kartanegara yang berjudul Gerbang Kearifan, beliau  mendiskusikan beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim.
Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan nama-nama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.
Adapun beliau sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan setidaknya tiga alasan:
1. Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini, sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim.
2. Sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati flsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam.
3. Adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat Islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dan lain-lain.


1.1.2. Lingkup Filsafat Islam
Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.

1.1.3. Pandangan Filsafat yang Holistik
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui keabsahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.

1.2. Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern
1.2.1. Menjawab Tantangan Kontemporer
Pada saat ini, dalam pandangan Beliau (Mulyadhi Kartanegara), umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa.     Dan ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam. Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewanhewan, karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection).
Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti menjadi pencipta hewan. Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada.
Dengan demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah. Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah beliau melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.

1.2.2. Filsafat sebagai Pendukung Agama
Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan bagi agama, beliau (Mulyadhi Kartanegara) melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin bahwa Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.
Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalah sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan pendukung agama.
Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di atas.
Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argumen adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dll. Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd dan lain-lain.
Dalam buku Filsafat Agama, karangan Dr. H. Rosjidi diuraikan tentang perbedaan filsafat dengan agama, sebab kedua kata tersebut sering dipahami secara keliru.
Berikut ini kami kelompokkan secara rinci:

Filsafat
Agama
1.    Filsafat berarti berpikir, jadi yang penting ialah ia dapat berpikir.
2.     Menurut William Temple, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami.
3.     C.S. Lewis membedakan 'enjoyment' dan 'contemplation', misalnya laki-laki mencintai perempuan. Rasa cinta disebut 'enjoyment', sedangkan memikirkan rasa cintanya disebut 'contemplation', yaitu pikiran si pecinta tentang rasa cintanya itu.
4.    Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang.
5.     Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya.
6.    Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain, biasanya bersikap lunak.
7.      Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya, sering mengeruhkan pikiran pemeluknya.
8.    Ahli filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen, walaupun argumenya sendiri.
1.      Agama berarti mengabdikan diri, jadi yang penting ialah hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu.
2.      Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat yang terutama merupakan hubungan manusia dengan Tuhan.
3.      Agama dapat dikiaskan dengan 'enjoyment' atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian (dedication) atau 'contentment'.
4.      Agama banyak berhubungan dengan hati.
5.      Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya.
6.      Agama, oleh pemeluk-pemeluknya, akan dipertahankan dengan habis-habisan, sebab mereka telah terikat dn mengabdikan diri.
7.      Agama, di samping memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, juga mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya.
8.      Filsafat penting dalam mempelajari agama.



1.3. Filsafat Islam di Indonesia
1.3.1. Masa Lalu
Filsafat Islam belum begitu dikenal di Indonesia, karena memang filsfat Islam baru diperkenalkan ke publik pada tahun 70-an oleh Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya yang terkenal Falsafah & Mistisime dalam Islam, yang diterbitkan Bulan Bintang pada tahun 1973. Dalam buku ini pak Harun telah memperkenalkan 6 filosof Muslim yang terkenal yaitu al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, setelah sebelumnya ia membicarakan tentang “Kontak Pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah Yunani.” Dalam buku ini pak Harun dengan singkat tetapi esensial memperkenalkan biografi dan ajaran para filosof Muslim tersebut, sehingga para mahasiswa Muslim, khususnya mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia, telah menyadari keberadaan filsafat Islam yang sebelumnya hampir tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Dan dengan dijadikannya buku tersebut sebagai buku wajib, maka pak Harun boleh dikata telah berhasil memperkenalkan filsafat Islam di Indonesia ini.
Tetapi karena buku ini merupakan satu-satunya buku yang digunakan dalam matakuliah filsafat Islam selama puluhan tahun, maka timbul kesan yang keliru bahwa seakan filsafat Islam hanya menghasilkan 6 orang filosof sebagaimana yang diperkenalkan oleh Pak Harun di atas. Untunglah pada tahun 1987 Pustaka Jaya telah menerbitkan sebuah buku terjemahan yang bagus dan komprehensif tentang filsafat Islam karangan Majid Fakhry yang berjudul Sejarah Filsafat Islam, yang diterjemahkan oleh (Mulyadhi Kartanegara), sehingga dengan demikian sadarlah kita bahwa filsafat Islam telah melahirkan bukan hanya 6 filosof, sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Pak harun, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan para filosof yang tidak kalah hebatnya daripada filosof-filosof yang telah diperkenalkan sebelumnya.
Buku ini menjelaskan filsafat Islam dari sudut historis, yang meliputi paparan tentang perkembangan filsafat sebelum Islam, pada masa awal Islam, masa pertengahan dan masa modern. Dan buku ini telah menikmati posisi yang penting di universitas-universitas Islam, sebagai buku daras yang tak ada duanya pada saat itu. Mahasiswa Muslim sangat diuntungkan dengan kehadiran karya terjemahan ini, karena ia telah banyak mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut lingkup, rentangan waktu, ajaran dll. Dengan buku ini pula kita menjadi sadar bahwa ternyata filsafat Islam tidak berhenti pada Ibn Rusyd sebagaimana dikesankan setelah membaca buku pak harun, tetapi terus hidup dan berlangsung hingga saat ini.

1.3.2. Masa Kini
Yang di maksud dengan masa kini, adalah kurang lebih periode sepuluh tahun terkahir dari sekarang. Pada saat ini kita telah menikmati banyak informasi tentang filsafat Islam. Diterjemahkannya buku yang diedit oleh M.M. Syarif yang berjudul, History of Muslim Philosophy secara parsial ke dalam bahasa Indonesia telah memperkaya khazanah filsafat Islam di Indonesia. Tetapi tambahan informasi yang sangat signifikan terjedi setelah penerbit Mizan menerjemahkan karya besar dalam sejarah filsafat Islam yang diedit oleh Nasr dan Oliver Leaman, yang berjudul A History of Islamic Philosophy ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Ensiklopedia Filsafat Islam (dua jilid). Berbagai karya filosofis yang lebih spesifik (misalnya yang membahas tentang pemikiran para filosof tertentu) juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti The Philosophy of Mulla Sadra yang ditulis oleh Fazlur Rahman, yang membahas beberapa aspek dari pemikiran Mulla Shadra, atau Knowledge and Illumination, karangan Hussein Ziai, yang membicarakan secara khusus filsafat iluminasi Suhrawardi. Namun sejauh ini, informasi ini lebih bersandar pada terjemahan dari karya asing, dan bukan karangan sarjana Muslim Indonesia sendiri.
Sedikit sekali karya filsafat Islam yang ditulis oleh para penulis negeri ini. Ada misalnya buku 5 tentang Suhrawardi yang ditulis oleh sdr Amroeni, khususnya kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik,atau yang ditulis oleh M. Iqbal tentang Ibn Rusyd, sebagai bapak rasionalisme. Namun tulisan-tulisan tersebut masih bersifat studi tokoh, dan pada dasarnya diadaptasi dari sebuah tesis atau disertasi. Tidak banyak penulis Muslim Indonesia yang menulis buku pengantar terhadap filsafat Islam yang bersifat independen, kecuali pak Haidar Bagir dengan Buku Saku Filsafat Islam-nya, dan beliau (Mulyadhi Kartanegara) sendiri dengan Gerbang Kearifan-nya.

1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian filsafat Islam?
2. Siapa saja tokoh-tokoh filosof muslim?
3. Bagaimana pemikiran para folosof muslim?
4. Bagaimana berkembangan Filsafat Islam?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Filsafat Islam.
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh filosof musliam.
3. Untuk mengetahui pemikiran para filosof muslim.
4. Untuk memperluas khazanah keilmuan di bidang filsafat.






BAB II
Filosof Islam Dan Filsafatnya

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Filosof-filosof Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan sangat tertarik dengan pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil. Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian, terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya dan berguru kepada mereka. Kita saja yang hidup pada abad ke-20 ini, dalam banyak hal masih berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan hanya mengutip, sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, seperti apa yang dikatakan Renan, atau dari neo-Platonisme, seperti yang dikatakan Duhem, karena filsafat Islam telah menampung dan mempertemukan berbagai aliran pemikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya pula.
Perpindahan dan pertukaran pikiran tidak selalu berarti berhutang budi. Sesuatu persoalan kadang-kadang dibicarakan dan diselidiki oleh orang banyak dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak: seseorang bisa mengambil persoalan yang pernah dikemukakannya oleh orang lain sambil mengemukakan teori dan pikirannya sendiri. Spinoza misalnya, meskipun banyak mengikuti Descartes, namun ia mempunyai mazhabnya sendiri. Ibnu Sina, meskipun murid yang setia dari Aristoteles, namun ia mempunyai pikiran-pikiran yang berlainan.
Filosof-filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filosof-filosof lain, dan pengaruh-pengaruh lingkungan dan suasana terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya tidaklah bisa dipungkuri bahwa dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.

2.1. AL-KINDI  (801 M)
Nama lengkapnya Abu Yusuf, Ya’qub bin Ishak Al-Sabbah bin Imran bin Al-Asha’ath bin Qais Al-Kindi. Beliau biasa disebut Ya’kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. Keturunan dari suku Kays, dengan gelar Abu Yusuf  (bapak dari anak yang bernama Yusuf) nama orang tuanya Ishaq Ashshabbah, dan ayahnya menjabat gubernur di Kufah, pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas.[2]
Nama Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Sebagai orang yang dilahirkan di kalangan para intelektual, maka pendiidkan yang pertama-tama diterima adalah membaca Al-Qur’an, menulis, dan berhitung. Di samping itu ia banyak mempelajari tentang sastra dan agama, juga menerjemahkan beberapa buku Yunani di dalam bahasa Syiria kuno, dan bahasa Arab.
Al-Kindi mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu Al-Nadim buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, arithmatika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya. Dari karangan-karangannya, dapat kita ketahui bahwa Al-Kindi termasuk penganut aliran Eklektisisme; dalam metafisika dan kosmologi mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi mengambil pendapat Plato, dalam hal etika mengambil pendapat Socrates dan Plato.
Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Mengenai hakikat Tuhan, Al-Kindi menegaskan bahwa Tuhan adalah wujud yang hak (benar), yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, ia selalu ada dan akan selalu ada. Jadi Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain, tidak berakhir wujudNya dan tidak wujud kecuali denganNya.
Unsur-unsur filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah:
a.       Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
b.      Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadimnya alam.
c.       Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
d.      Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
e.       Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifatNya.
f.       Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Qur’an.

            Haruslah diakui bahwa Al-Kindi tidak mempunyai sistem filsafat yang lengkap. Jasanya ialah karena dia adalah orang yang pertama-tama membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak Arab keislaman. Pendiri filsafat Islam yang sebenarnya ialah Al-Farabi.

2.2. AL-FARABI (870 M)
Ia adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang Iran dan kawin dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkistan, dan Kurdistan.  Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
            Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik.
            Al-Farabi dapat kita pembentuk filsafat Islam yang pertama, karena dialah yang berhasil dapat menyusun dasar-dasar filsafat atas keyakina tauhid menurut Islam.[3]
Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Di antara karangan-karangannya ialah:
1.      Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah.
2.      Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua        Filosof; maksudnya Plato dan Aristoteles).
3.      Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4.      ‘Uyun al-Masail (Pokok-Pokok  persoalan).
5.      Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadhilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
6.      Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
Menurut Dr. Ibrahim Madkour, filsafat Al-Farabi adalah filsafat yang bercorak spiritual-idealis, sebab menurut Al-Farabi, dimana-mana ada roh. Tuhannya adalah Roh dari segala Roh. Akal yang dikonsepsikannya yaitu ‘Uqul Mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni, sedang kepala negeri- utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.
      Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang bukan filsafat stoa, atau Peripatetik atau Neo Platonisme. Memeng bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun bahannya yang pokok adalah dari Islam sendiri.

2.3. IBNU SINA (980 M – 1037)
Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khilafah Abbasiyah, dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.
Di antara daerah-daerah yang berdiri sendiri ialah Daulah Samani di Bukhara, dan di antara khalifahnya ialah Nuh bin Mansur. Pada masanya, yaitu di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Belum lagi usianya melebihi enam-belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, taoi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit.
Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik, sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangan.
Karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal di antaranya:
1.      Asy-Syifa’.
Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan trediri dari enpat bagian, yaitu: logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan).
2.      An-Najat.
Buku ini merupakan keringkasan buku as-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
3.      Al-Isyarat wat-Tanbihat.
Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis.
4.      Al-Hikmat al-Masyriqiyyah.
Buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika.
5.      Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat.
Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuhbelas Masehi.
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan atau pun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Dalam pandangan Ibnu Sina, ilmu itu ada dua macam yaitu:
1.      Tashawwur (hanya tergambar dalam pikiran)
2.      Tashdiq (yang dapat dibuktikan melalui indera)
Tashawwur ialah ilmu pengatahuan pertama yang didapat tanpa sengaja yang tidak dapat ditetapkan benar atau salah, seperti pemahaman tentang hakikat manusia. Sedangkan tashdiq ialah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan yang dapat ditetapkan benar dan salah, seperti pengetahuan tentang adanya asal muasal.[4]
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia piker Arab sejak abad kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scott. Bahkan juga ada pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan wujudnya.
            Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang; penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak bisa diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.
                                                              
2.4. AL-GHAZALI (450 H)
Ia adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Kata-kata al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dengan dua z). dengan menduakalikan z, kata-kata al-Ghazzali diambil dari kata-kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah memintal benang wol, sedang al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata-kata Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir ini yang banyak dipakai.
Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun 478 H/1085 M. kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan dari padanya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu  enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain  mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, Isma’iliyyah, golongan filsafat dan lain-lain.
Pengaruh al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali.
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia.
Karyanya yang terbesar yaitu Ihya ‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hijjaz dan Tus, dan yang berisi tentang paduan yang indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan autobiografi.
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran akidah pada masanya.
            Namun demikian, al-Ghazali telah mencapai hakikat agama yang belum pernah diketemukan oleh orang-orang  yang sebelumnya dan mengembalikan kepada agama nulai-nilai yang telah hilang tidak menentu. Jalan yang terdekat kepada Tuhan ialah jalan hati dan dengan demikian ia telah membuka pintu Islam seluas-luasnya untuk tasawuf.
Pengaruh al-Ghazali besar sekali di kalangan kaum  Muslimin sendiri sampai sekarang ini, sebagaimana juga di kalangan tokoh-tokoh pikir abad pertengahan bahkan juga sampai pada tokoh-tokoh pikir abad modern.



2.5. IBNU BAJAH (Abad ke-11)
Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah. Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu Bajah dengan “Avempace”, sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibnu Sina, Ibnu Gaberol, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, masing-masing dengan nama Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan Averroes.
Ibnu Bajah dilahirkan di Saragosta pada abad ke-11 Masehi. Tahun kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil dan masa mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah bahwa ia hidup di Serville, Granada, dan Fas; menulis beberapa risalah tentang logika di kota Serville pada tahun 1118 M, dan meninggal dunia di Fas pada tahun 1138 M ketika usianya belim lagi  tua. Menurut satu riwayat, ia meninggal dunia karena diracuni oleh seorang dokter yang iri terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.
Buku-buku yang ditinggalkannya ialah: 
Beberapa risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
Risalah tentang jiwa.
Risalah al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dan akal-faal.
Risalah al-Wada’, berisi uraian tentang penggerak-pertama bagi manusia dan tujuan yang sebenarnya bagi wujud manusia dan alam.
Beberapa risalah tentang ilmu falak dan ketabiban.
Risalah Tadbir al-Mutawahhid.
Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, al-Farabi, Porphyrus, dan sebagainya.

      Menurut Carra de Vaux, di perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajah.
      Diantara karangan-karangannya itu yang paling penting ialah risalah Tadbir al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang menjauhi segala macam keburukan masyarakat, yang disebutnya Mutawahhid, yang berarti “penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga memungkinkan kita dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut untuk dapat bertemu dengan akal-faal dan menjadi salah satu unsur pokok bagi negeri idam-idamannya.
            Ibnu Bajah telah memberi corak baru terhadap filsafat Islam di negeri Islam barat dalam teori ma’rifat (epistemology, pengetahuan), yang berbeda sama sekali dengan corak yang telah diberikan oleh al-Ghazali di dunia timur Islam, setelah ia dapat menguasai dunia pikir sepeninggal filosof-filosof Islam.

2.6. IBNU THUFAIL (506 H. / 1110 M.)
Ia adalah Abubakar Muhammad bin Abdul Malik bin Thufail, dilahirkan di Wadi Asy dekat Granada, pada tahun 506 H/1110 M. kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran, kesusasteraan, matematika dan filsafat. Ia menjadi dokter di kota tersbut dan berulangkali menjadi penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal, ia menjadi dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf al-Mansur, khalifah kedua daru daulah Muwahhidin. Dari al-Mansur ia memperoleh kedudukan yang tinggi dan dapat mengumpulkan orang-orang pada masanya di istana Khalifah itu, di antaranya ialah Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas buku-buku karangan Aristoteles.
Buku-buku biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu Thufail yang menyangkut beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan sebagainya, disamping risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibnu Rusyd. Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja, yaitu risalah Hay bin Yaqadhan, yang merupakan intisari pikiran-pikiran filsafat Ibnu Thufail, dan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Suatu manuskrip di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmat ai-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Filsafat Timur) tidak lain adalah bagian dari risalah Hay bin Yaqadhan.
            Ibnu Thufail tergolong filosof dalam masa Skolastik Islam. Pemikiran kefilsafatannya cukup luas, termasuk metafisika. Dalam pencapaian Ma’rifatullah, Ibnu Thufail menempatkan sejajar antara akal dan syari’at. Pemikiran tersebut sebenarnya merupakan upaya yang tidak pada tempatnya, sebab syari’at sumbernya adalah wahyu (yakni : dari Tuhan), sedangkan akal merupakan aktifitas manusiawi. Akal manusia sebenarnya hanyalah dampak mencari alasan rasional bagi syari’at mengenai dalil-dalil adanya Tuhan.

2.7. IBNU RUSYD (520 H.)
Nama lengkapnya Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan kakeknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi berbagai ilmu, seperti: fiqih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan, atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah.
Buku-bukunya yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu:
Bidayatul Mujtahid, ilmu fiqih. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqih dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
Manahijul Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah  diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, juga oleh Muler, pada tahun 1895 M.
Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela filsafat dari serangan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh van den Berg yang terbit pada tahun 1952 M.

            Ibnu Rusyd adalah tokoh pikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya, paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi filosof-pikiran dikalangan kaum Muslimin.
            Pada garis besar filsafatnya, ia mengikuti Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang sebenarnya dari celah-celah kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam lapangan ketuhanan, di mana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak jelas kepada kita.
      Ketika hendak meninggal, beliau (Ibnu Rusyd) mengeluarkan kata-katanya yang terkenal:
“Akan mati rohku karena matinya filosof”.



BAB III
Analisa

3.1. Ada Apa Dengan Filsafat?
Kata filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia. Merupakan kata majemuk dari kata philo dan sophia; Philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu. Shopia artinya kebijakan, yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai, cinta pada kebijakan.[5]
Sesuai makna aslinya, bahwa filsafat atau falsafah mengandung arti “Cinta kepada pengetahuan.” Maka orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosophos atau failasuf. Artinya pencinta pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain, orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.[6]
Bagi sebagian kalangan pemikir, filsafat pada dasarnya adalah sebuah pencarian kebenaran akhir, sekaligus juga merupakan keyakinan dan berakar pada kebutuhan praktis manusia, baik material maupun spiritual.[7]
Semua itu merupakan pandangan umum, dimana tidak seorang pun kalangan ahli filsafat memiliki definisi yang sama, dikarenakan penilaian seseorang terhadap sesuatu, jelas akan berbeda satu sama lainnya dikarenakan sudut pandang yang berbeda pula.
Dengan demikian, filsafatnya seseorang akan berbeda dengan filsafat orang yang lainnya. Ketika seseorang meyakini sesuatu dan berbeda dengan keyakinan lainnya, maka itulah filsafatnya. Dengan demikian, tidak dapat dipaksakan ketika seseorang telah meyakini sesuatu yang telah menjadi dasar falsafah hidupnya.
Hubungannya dengan Agama
Mengenai keyakinan agama dan hubungannya dengan filsafat, minimalnya terbagi kepada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa agama adalah filsafat, seperti halnya pendirian Dean Inge yang mengatakan: “Saya tidak mampu membedakan antara filsafat dan agama.” Ada pula yang membedakan antara filsafat dan agama sebagaimana para ulama menyimpulkan bahwa filsafat merupakan produk manusia, sementara agama terlahir dari wahyu. Kalaupun ada agama yang berlatar filsafat maka agama tersebut agama filsafat. Pandangan lainnya adalah ada hubungan erat antara filsafat dan agama. Kedua perkataan ini meliputi bidang yang sama, yaitu bidang yang sangat penting mengenai soal hidup dan matinya seseorang dan bukan persoalan remeh. Perbedaan keduanya tidak terletak pada bidangnya, melainkan dalam caranya. Filsafat berarti memikir, sedangkan agama berarti mengabdikan diri. Orang yang belajar filsafat tidak saja mengetahui soal filsafat, akan tetapi lebih penting dari itu ia dapat berpikir. Begitu juga orang yang mempelajari agama, tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, tetapi memerlukan membiasakan dirinya dengan hidup secara agama. William Temple berkata: “Filsafat itu ialah menuntut pengetahuan untuk memaham, sedangkan agama adalah menuntut pengetahuan untuk beribadah.” Menurutnya, pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, akan tetapi perhubungan antara seseorang manusia dengan Tuhan. Dalam bahasa C.S. Lewis diistilahkan dengan enjoyment dan contemplation (rasa cinta dan memikirkan rasa cinta).[8]
Dalam prakteknya, tentu ada perbedaan pada setiap agama, terlebih antara agama yang bersandar kepada wahyu dengan agama yang bersandar kepada filsafat seseorang. Yang berpegang kepada wahyu dan meyakini firman-firman Tuhan yang suci (kalamullâh) akan merasakan kesamaan  dalam keyakinan (beraqidah) dan kesamaan bimbingan dalam pengabdian (beribadah), kalaulah ada perbedaan, hanyalah perbedaan dalam penafsiran. Sementara agama yang bersandar kepada filsafat, sudah dapat dipastikan akan terjadi banyak perbedaan. Bukan sekedar melahirkan banyak tata cara peribadatan, melainkan berbeda dalam meyakini Tuhan. Dengan demikian, ketika suatu pemahaman agama  wahyu dipaksakan dengan pendekatan filsafat, jelas akan mengalami problem. Agama wahyu bersandar kepada dalil-dalil agama, sedangkan agama filsafat bersandar kepada akal. Karena itulah, Umar Sulaiman Al-Asyqar dalam kitabnya Al-Aqîdah Fillâh menjelaskan dengan tegas tidak ada titik temu antara agama dan filsafat (Lâ Liqâa bainad dîn wal falsafah), karena sesungguhnya keduanya merupakan dua manhaj yang berbeda, baik dalam permulaan ataupun akhiran, cara ataupun bentuknya, pengaruh dan dampaknya serta dalam menjadikan sumber ajarannya. Menurutnya, ada banyak ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan bahwa Islam (sebagai agama wahyu) tidak membutuhkan pelengkap yang lainnya, karena telah dicukupkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla (Q.S. Al-Mâidah/5: 35), tidak membutuhkan pencocokan dengan faham-faham bathil lainnya (Q.S. Fushilat/41: 42). Demikian pula sudah merupakan keyakinan yang wajib dibedakan bahwa aqidah dan syari’ah Islam merupakan aqidah dan syari’ah yang bersih dan mampu membedakan antara petunjuk dan kesesatan (Q.S. al-Baqarah/2: 256) serta terhindar dari pencampuran haq dan bathil sebagaimana terjadi pada kalangan ahlul kitab (Q.S. Ali Imrân/3: 71). (Al-Asyqar, 1979, hal. 38)
Bagaimana Dengan Filsafat Islam?
Diakui oleh para sarjana peneliti, semisal Prof. Majid Fakhry (seorang dosen Filsafat di Georgetown University) yang menyebutkan bahwa filsafat Islam adalah hasil sebuah proses Intelektual yang rumit, dimana para cendikiawan Syria, Persia, Turki dan Barbar dan lain-lain turut aktif mengambil bagian. Meskipun begitu, unsur Arab demikian dominan, sehingga sebutan Filsafat Arab barangkali lebih tepat digunakan.[9]
Ini menunjukkan, bahwa para pakar filsafat sendiri kesulitan dalam memberikan definisinya. Apalagi para ulama Islam yang memiliki kesimpulan bahwa filsafat Islam tidak memberi gambaran Islam yang murni, melainkan pemikiran asing yang dikemas dengan kemasan Islam atau diberi pakaian dengan pakaian Islam. Salah satunya adalah Ilmu Kalâm, Filsafat Islam atau teologi (Ilâhiyyât) dalam pandangan ahli kalam, para filosuf dan para orientalis serta pengikutnya.[10]
Sedangkan para ulama Islam, berbeda pendapat dalam menyikapi filsafat, diantara mereka ada yang menolak dengan keras bahkan menghukumkan haram. Seperti Muhyiddin an-Nawawy (1233-1277 M.) dan Ibnu Shalah (1181-1243 M.). Juga muncul kritikan Ibnu Taimiyyah terhadap filsafat dalam kitabnya Ar-Radd ‘alal manthiqîyyîn (Bantahan terhadap kaum logika), Naqdhul Manthiq (kritikan terhadap logika), Dar’u Ta’ârudhil ‘aqli wan naqli (Tidak ada kontradiksi antara aqal dan naql) dan Nashîhatu Ahlil Imân fir Radd ‘alâ Manthiqil Yunân (Nashihat pendukung keimanan dalam mambantah logika Yunani) dan kritikan-kritikan lainnya seperti halnya Imam As-Suyuthi.
Adapula kalangan ulama yang sekedar mewaspadakan akan bahaya ilmu filsafat seperti halnya Sa’aduddin al-Taftazany (1322-1389 M.) dengan kitabnya Tahdzibul Manthiqi wal Kalâm (seleksi terhadap logika dan ahli kalam) atau Abu Hamid al-Ghazali dengan kitabnya Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan para filosuf).
Sejauh mana pengaruh filsafat tehadap ajaran Islam, Abul Hasan Ali an-Nadawi (seorang ulama India) mengemukakan dalam Rijâlul Fikri wad Da’wah sebagai berikut: “Disisi lain, sekelompok filosuf tengah berusaha untuk menyebarkan ajaran-ajarannya baik secara tersembunyi maupun terang-terangan. Mereka melepaskan ikatan agama dan ajaran para nabi. Disamping itu, ada pula kelompok lain berusaha mensejajarkan filsafat dengan agama dan dalil aqal dengan naql. Kedua kelompok itu adalah pengikut setia Aristoteles dan Plato yang menganggap suci pemikiran-pemikirannya dan teori keduanya, mempercayai kebenaran dan keutamaan ilmu keduanya bahkan manganggapnya sebagai sesuatu yang diatas kemampuan manusia biasa. Mereka tidak mengakui adanya kesalahan pada pemikiran dan teorinya. (An-Nadawi, hal. 38)
Inilah pengaruh filsafat terhadap keyakinan seseorang, sebagaimana diungkapkan Abu Abdillah Muhammad bin ‘Amr ar-Râzi dalam ungkapan penyesalannya:
Nihâyatu iqdâmil ‘uqûl  ‘iqâl                                      Wa qhâyatu sa’yil ‘âlamin dhalal.
Wa arwâhunâ fi wahsyatin min jusûminâ                               Wa hâshilu dunyânâ adzan wa wabâlu.
Walam nastafid min bahtsinâ ‘umrinâ                                    Siwâ  an jama’na fihi qîla wa qâlu.
“Akibat mendahulukan akal (atas naql/wahyu) adalah kebingunan, dan puncak usaha manusia (ahli kalam) adalah kesesatan. Jiwa-jiwa kita terasing dari jasad-jasad kita, dan hasil kita di dunia ini hanyalah bencana dan malapetaka. Kita tak dapat mengambil manfaat selama pencarian kita sepanjang masa, melainkan hanya mengumpulkan ucapan-ucapan qîla wa qâlu (ucapan yang tak berharga).”



Bab IV
KESIMPULAN

            Dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.
            Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa umat Islam memiliki para filosof, di antaranya: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, dan masih banyak lagi yang belum penulis sebutkan.
            Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.
            Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
            Di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
            Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia. Abubakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah.
            Setelah menela’ah secara sederhana, maka kami dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Filsafat dalam Islam lebih dikenal dengan istilah hikmah.
2.      Bagi seorang Muslim, belajar filsafat itu punya dua fungsi:
Pertama, membenarkan yang benar (ihqaq al-haqq إحقاق الحقّ) ).
Kedua, membatalkan yang batil (ibthal al-bathil إبطال الباطل)).
Kebenaran yang dimaksud itu terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.




Saran
Dengan demikian, langkah selanjutnya adalah perlu metodologi pembelajaran filsafat Islam secara utuh dan tuntas. Kita harus menggali turats (kitab rujukan asli) dari pemikiran para filsuf Islam yang berlimpah jumlahnya. Di antaranya karya-karya agung Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Imam Al-Ghazali, Fakhruddin Ar-Razi, Ibnu Rusyd dan lain-lain.
Dan untuk itu kita harus punya tradisi ilmu yang kuat. Sumber pustakanya juga harus dari kitab-kitab Islam yang orisinil, bukan saduran atau ringkasan saja. Kalau cuma saduran, mana bisa utuh pemahamannya? Memang, tidak setiap muslim harus belajar Filsafat. Tapi harus ada yang menekuni sebagai fardhu kifayah.
Tapi, sekali lagi, mesti berangkat dari sumber aslinya. Baru kita bisa merumuskan nilai-nilai Filsafat Islam yang komprehensif. Dengan demikian insya Allah kita tidak akan tergerus oleh filsafat Barat yang menggerogoti nilai-nilai esensial Islam.
Allahuma Ya Allah, ya Rabb kami, bimbinglah kami ke jalan-Mu, tunjukkan kepada kami jalan kebenaran, sehingga kami dapat membedakan antara yang haq dan yang batil.

                                                                                    Wallâhul Musta’ân,  
Jakarta, 05 Juni 2011



                       
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta : 1996
Sudarsono, Ilmu Filsafat – Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta : 2001
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, 1986
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal; Sejarawan, Tokoh Perbandingan Agama dan Ulama’
                            Besar Abad VI H., Surabaya: Bina Ilmu, 2006
Amroeni Drajar, Filsafat Islam, Jakarta: Erlangga, 2006
‘Abdul Hamid Abu Sulayman, Krisis Pemikiran Islam, Media Dakwah: Jakarta, 1994
Muhammad Rasjidi,  Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Bulan Bintang: Jakarta, 1988
Surajiyo,  Ilmu Filsafat; Suatu Pengantar, Bumu Aksara: Jakarta, 2005
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra,Rosda: Bandung, 2000
-  - - - - - - - - - Filsafat Pendidikan Islam, Rosda: Bandung, 2006
Hasimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta, 1998
Endang Saifuddin Anshari,  Ilmu Filsafat dan Agama, Bina Ilmu: Surabaya, 1987
Muhammad Rasjidi, Filsafat Agama, Bulan Bintang: Jakarta, 1965
Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat dan Agama, Pustaka Firdaus: Jakarta, 1996
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Logos: Jakarta, 1999
Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramadhani: Sala, 1982
Ahmad Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia: Bandung, 2004
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, Miza: Bandung, 2003
Miska M. Amien, Epistemologi Islam; Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam,UIP, 1983

                                                                                                             


[1]Ahmad Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia: Bandung, Cet.II, 2004, hal.38
[2] Hasimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta, Cet.III, 2003, hal.15

[3] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramadhani: Sala, Cet.II, 1982, hal.48

[4] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal; Sejarawan, Tokoh Perbandingan Agama dan Ulama’ Besar Abad VI H.,
  Surabaya: Bina Ilmu, 2006, hal. 142
[5] Wilhelm Windelband dalam Filsafat Umum, Ahmad Tafsir, 1993, hal. 8
[6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 1991, hal. 3
[7] Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam, 2004, hal. 9
[8] David Trueblood, Philosophy of Religion; Filsafat Agama, 1994, hal. 3
[9] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, 1986, hal. 15
[10] Nâshir Abdil Karim al-Aql, Mabâhits fi Aqîdah Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hal. 11